Menggali Lebih Dalam Tentang Sindrom Stockholm: Ketika Korban Menyayangi Pelaku Mereka

oleh -814 Dilihat
oleh
Menggali Lebih Dalam Tentang Sindrom Stockholm: Ketika Korban Menyayangi Pelaku Mereka
Menggali Lebih Dalam Tentang Sindrom Stockholm: Ketika Korban Menyayangi Pelaku Mereka - foto dok the independen

Klikinfoberita.com – Stockholm Syndrome adalah kondisi psikologis di mana korban perampokan atau penyanderaan mengembangkan hubungan emosional yang tidak sehat dengan pelaku kejahatan. Ini membuat korban merasa simpati atau bahkan mencintai penjahat yang menyandera mereka. Nama “Stockholm syndrome” berasal dari sebuah peristiwa di Stockholm, Swedia, pada tahun 1973.

Pada Agustus 1973, sebuah bank di Stockholm diserang oleh dua penjahat, Jan-Erik Olsson dan Clark Olofsson. Mereka mengambil empat orang sebagai sandera selama enam hari dalam situasi yang sangat tegang. Selama masa itu, para sandera mulai mengembangkan perasaan simpati terhadap penjahat mereka.

Alaku

Faktor-faktor yang berkontribusi pada Stockholm syndrome meliputi:

• Trauma dan Kekuatan Dalam Ketidakpastian
Korban berada dalam situasi yang sangat traumatis dan tak terduga, di mana mereka tidak tahu apakah mereka akan selamat atau mati. Ini menciptakan ketidakpastian dan stres yang ekstrem.

• Humanisasi Penjahat
Ketika korban berinteraksi dengan penjahat sehari-hari, mereka mungkin mulai melihat sisi manusiawi dari mereka. Ini bisa melibatkan penjahat berbicara tentang masalah pribadi mereka atau bahkan menjunjung tinggi perilaku tertentu yang dapat dianggap baik.

• Rasa Syukur Kecil
Korban mungkin merasa bersyukur atas tindakan kecil penjahat, seperti memberi makan atau memberikan perlakuan yang lebih baik daripada yang diharapkan.

• Mekanisme Koping
Untuk mengatasi stres dan ketidakpastian, korban mungkin mencari cara untuk merasa aman, dan mengembangkan perasaan positif terhadap penjahat dapat menjadi salah satunya.

Setelah perampokan bank Stockholm, para korban dilepaskan tanpa cedera fisik yang serius. Namun, mereka memiliki kesulitan dalam berbicara negatif tentang para penjahat dan bahkan mengumpulkan uang untuk membantu biaya hukum mereka.

Stockholm syndrome telah menjadi subjek penelitian psikologi selama beberapa dekade, tetapi masih banyak kontroversi di sekitar fenomena ini. Ini sering dilihat sebagai mekanisme bertahan hidup yang melibatkan perasaan dan reaksi emosional yang rumit dalam situasi yang ekstrem.

Fenomena ini mengejutkan banyak orang dan memicu minat psikolog dan peneliti perilaku manusia. Sejak itu, istilah “Stockholm Syndrome” digunakan untuk menggambarkan situasi di mana korban mengembangkan ikatan emosional atau simpati terhadap pelaku penyanderaan. Beberapa teori telah diajukan untuk menjelaskan fenomena ini:

• Mekanisme Bertahan Hidup
Salah satu teori mengatakan bahwa korban mungkin mengembangkan perasaan positif terhadap pelaku sebagai mekanisme bertahan hidup. Mereka berharap bahwa dengan menjaga hubungan yang baik dengan penyandera, mereka akan lebih mungkin selamat.

• Indentifikasi dengan Penyandera
Korban mungkin mencoba mengidentifikasi diri mereka dengan pelaku, mencoba memahami alasan atau motivasi di balik tindakan mereka. Hal ini dapat mengarah pada pengembangan ikatan emosional.

• Pengaruh Trauma
Pengalaman trauma saat menjadi sandera dapat menyebabkan korban merasa kacau secara emosional, dan mereka mungkin mencari kenyamanan atau dukungan bahkan dari pelaku penyanderaan.

Namun, penting untuk diingat bahwa Stockholm Syndrome bukanlah fenomena universal, dan tidak semua korban penyanderaan mengalaminya. Selain itu, penjelasan dan pemahaman terkait fenomena ini masih menjadi subjek penelitian dan perdebatan di antara ahli psikologi.

Stockholm Syndrome Ini bisa terjadi karena beberapa faktor, termasuk:

• Isolasi Emosional
Korban mungkin terisolasi dari dunia luar dan berinteraksi secara terbatas dengan pelaku penyanderaan. Ini bisa membuat korban merasa sangat tergantung pada pelaku dan mencari persetujuan mereka.

• Ancaman Kematian atau Kekerasan
Ancaman yang berulang-ulang terhadap nyawa atau fisik korban dapat menciptakan rasa takut yang mendalam. Dalam upaya untuk bertahan hidup, korban mungkin mencoba meredakan pelaku dengan mencari simpati mereka.

• Pelaku Menunjukkan Kebaikan
Terkadang, pelaku penyanderaan bisa mengambil sikap baik atau menunjukkan perasaan baik pada korban. Hal ini dapat membingungkan korban dan membuat mereka merasa seperti pelaku adalah satu-satunya sumber dukungan emosional.

• Ketergantungan Ekonomi
Jika korban secara finansial tergantung pada pelaku, mereka mungkin merasa sulit untuk melawan atau melarikan diri.

• Kesadaran Diri yang Terdistorsi
Dalam usaha untuk mengatasi situasi traumatis, korban dapat mengembangkan pandangan yang terdistorsi tentang pelaku dan menganggap mereka sebagai sosok yang baik atau melihat tindakan mereka sebagai perlindungan.

• Kesempatan untuk Bertahan
Korban mungkin merasa bahwa satu-satunya cara untuk bertahan adalah dengan bersekutu dengan pelaku atau memenuhi keinginan mereka.

Harap diingat bahwa Sindrom Stockholm adalah fenomena kompleks dan tidak semua korban penyanderaan mengalaminya. Ini adalah mekanisme pertahanan psikologis yang muncul dalam beberapa kasus. Penting untuk memberikan dukungan dan bantuan profesional kepada korban penyanderaan untuk membantu mereka pulih dari pengalaman traumatis seperti ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.